Jika Rindu
Jika rinduku pada hawa, kuingin rindu itu
hanya pada ibuku
Jika rinduku pada hawa, kuingin rindu itu
hanya pada kakakku
Jika rinduku pada hawa, kuingin rindu itu
hanya pada adikku
Jika rinduku pada hawa, kuingin rindu itu
hanya pada keponaanku
Saat ini, jika bukan pada mereka, sesungguhnya
rindu itu adalah salah. Aamiin
Menyusun kenangan adalah salah satu pengobat
rindu, walau pada kenyataannya rindu itu akan semakin pelik. Aku merindumu ibu, saat ini sangat besar.
Sangat besar. Aku selalu bertanya, “Kak Ana ro baa waktu ketek e mak ?”. Ibu
menjawab dia cengeng, suka menangis. Jadi saat kakakku mendiamkan Raifa yang
sedang menangis. Aku jadi rindu kamu. Kalau Ipat mak ?. Aku tidak sempat
menanyakan itu pada ibu.
You
always call me “anak bujang umak”. Sekarang anak bujang umak sedang mencari
pendamping hidup mak. Aku tidak ingin muluk-muluk, cukup seperti ibu. Walau
kenyataannya sulit mendapatkan yang seperti ibu. Mungkin itu menjadi hal yang
sangat muluk.
Bukan perkara parasnya, lebih ada sifat
pekanya. Untuk yang lain mungkin nomor sekian. Aku ingin menumbuh kembangkan
cucu-cucumu dengan impian, seperti ibu. Yang selalu mendorong kak Ana untuk
jadi dokter. Seperti ibu yang memompa semangat belajarku. Seperti ibu yang
selalu terlihat senyum, walau pekerjaan rumah sangat berat. Seperti ibu yang
rela bangun subuh untuk membungkus nasi jualan, menjualkannya bersama jualan
ikan ayah. Karena untuk tambahan uang
sekolah, dan kebutuhan sehari-hari. Seperti ibu yang rela berpanas-panasan
menemani ayah ke kebun pala.
Seperti ibu yang menjemur pala di pagi hari,
dan membangkitnya di sore hari. Seperti ibu yang selalu menyiapkan sarapan dan
susu sebelum anak-anakmu pergi sekolah, seperti ibu yang selalu mengingatkanku
shalat di manapun aku berada. Seperti ibu yang suka menjahit, terlebih saat
kamu hanya tersenyum menjahit celana sekolah SMAku yang robek. Seperti ibu yang
rela berjalan kaki ke sekolahku untuk mengambil raporku waktu sekolah dasar.
Seperti ibu yang mengomeli aku saat aku minta izin padamu untuk memelihara
anjing di rumah. Padahal aku baru minta izin :) . Dan diganti dengan memelihara kucing.
Seperti ibu yang selalu membelikan es cendol
kalau pulang belanja dari pekan. Seperti ibu yang selalu memasukkan susu untuk
sarapan yang lupa kuminum saat buru-buru ke sekolah ke dalam kulkas. Karena
sepulang sekolah aku akan mencarinya. Seperti ibu yang menahan emosi ayah pada
abangku. Seperti ibu yang mau menemani anaknya mengerjakan pekerjaan rumah
dari sekolah. Karena ayah yang kasar mengajarkan anak-anaknya.
Seperti
ibu yang selalu tidak memasukkan toge ke dalam sayuran, tidak memasakan udang,
kepiting pada masakan sehari-hari, karena ayah tidak boleh memakannya. Seperti ibu
yang tau semua posisi barang-barang yang hilang. Seperti ibu yang selalu
membuat anak-anaknya menahan puasa, mencoba menghibur, hingga waktu berbuka
tiba.
Seperti ibu yang selalu bersemangat saat
membungkus lauk pauk untuk dikirim pada anak-anaknya yang berkuliah di luar
kota. Seperti ibu yang tidak mengharapkan balas budi. Karena sungguh aku tidak
bisa membalasnya.
Seperti
ibu yang mau mengangkat air dari sumur tetangga yang airnya lebih jernih dan
memasak nya di tungku api karena keuangan keluarga sangat susah.
Seperti
ibu yang tidak ingin menyusahkan orang lain. Ibu ingin pulang dari rumah kak
Ana di Meulaboh, karena ibu tidak ingin merepotkannya, aku tau itu. Seperti ibu
hanya diam saat kami anak-anakmu seolah-olah lebih pintar darimu. Ibu tidak
marah, ibu tau saat itu kami sedang tumbuh dewasa.
Seperti ibu yang selalu merawat penampilan,
meski satu harian kerja keras merawat kami. Mencoba menutup putihnya rambutmu. Dengan
minyak rambut orang-aring.
Seperti ibu yang selalu berkata padaku “kabilo
pulang?”, saat berkomunikasi dengan anak-anakmu yang sedang berkuliah. Padahal ibu tahu bahwa semester masih sangat lama. Seperti ibu yang selalu membukakan
pintu belakang saat aku pulang main hujan-hujanan, karena kalau ayah tau
mungkin ayah akan marah.
Seperti ibu yang membuka pintu kamar mandi
belakang yang aku dikurung ayah di dalamnya karena tidak mau ke sekolah.
Seperti ibu yang menghiburku yang tertabrak sepeda motor saat 17 agustus, aku
terpaksa di rawat di rumah dan sangat sedih karena tidak jadi ikut parade
pakaian adat. Dan sampai sekarang aku belum pernah mengikuti kegiatan itu lagi.
Seperti ibu yang membangunkan aku yang
tertidur sampai pagi karena nonton bola di malam hari , dan telat untuk ke
sekolah. Seperti ibu yang meminta maaf pada guruku saat aku dilaporkan
berkelahi dengan temanku. Seperti ibu yang selalu bangga saat orang-orang megatakan
hanya aku dari anak ibu yang berbadan gemuk. Padahal ayah dan ibunya kurus. Dengan bangga ibumenjawab, “dia suka sekali
sayur santan masakannku”. And its totally right. I love that’s food.
Seperti ibu yang bisa mengajarkan membaca
Qur’an. Seperti ibu yang membantuku menghafal beberapa ayat pendek untuk bacaan
shalat. Pengetahuan agama juga penting.
Seperti ibu yang mendampingi ayah sampai akhir
hidupmu. Seperti ibu yang mengatakan kamu tidak apa-apa, padahal mulut ibu saja sudah
sulit untuk ibu gerakkan.
Seperti ibu yang tetap bertahan, saat ada
saudara yang menumpang tidak disukai oleh keluargamu yang lain. Seperti ibu yang
sabar.
Seperti ibu yang selalu memanggil anak-anaknya
dengan pangilan kecilnya, walaupun kami sudah beranjak besar. Ipat, opi, ana,
icha.
Seperti ibu yang membiarkanku tidak ke sekolah
saat rumah kebanjiran. Aku sangat senang saat itu. Bermain-main air di rumah,
mengganggu ayah dan ibu yang mencoba mengeluarkan air dari rumah. Dan tentu
saja ayah akan marah karena tidak sekolah.
Seperti ibu yang tidak pernah bosan, selama
lebih dari tiga puluh tahun membesarkan anak-anaknya, seperti ibu yang tidak
pernah jenuh. Seperti ibu yang pintar merawat diri, agar tetap tampil anggun.
Seperti ibu yang aku pun sampai keletihan
menulisnya. Seperti ibu yang mampu membuat anak-anakmu menangis saat
kehilangannmu, seperti ibu yang menumbuhkan kasih sayang di antara kami,
seperti ibu yang menjaga dan mendo’akan kami hingga kami bisa seperti ini. Aku
inginnya seperti ibu.
Sebentar lagi puasa ke dua tanpa ibu di sini.
Dan itu sangat berbeda, aku melaluinya di tahun pertama. Dan aku inginnya
seperti ibu, seperti ibu yang menyiapkan buka puasa lengkap dengan minuman
dinginnya. Minumanku yang sengaja dipisah, karena aku biasanya tanpa cincau ataupun mentimun kapur di sirupku.
Seperti ibu yang perhatian pada saudaranya,
menyuruh kami anak-anaknya mengantar kue ke rumah mak wo. Seperti ibu yang
mampu membuat hubungan bertetangga sangat harmonis. Seperti ibu yang sangat
perhatian. Seperti ibu yang selalu membersihkan rumah sebelum esoknya hari
raya. Seperti ibu yang mengganti gorden rumah dengan yang baru. Seperti ibu
yang yang selalu menunggu ayah sepulang dari shalat ied dengan senyum ceria.
Seperti ibu yang berdampingan bersama kami, keliling rumah tetangga untuk
silahturahmi, seperti ibu yang memasak daging dengan sangat lembut. Seperti ibu
yang mahir membuat tape, seperti ibu yang mahir memasak ketupat. Seperti ibu
yang selalu kucium tangannya di hari raya itu. Seperti ibu.
Aku sungguh saat merindukanmmu saat ini. Semoga
kita bisa bertemu kembali di surganya Allah, dan tidak ada cara yang lain
bagiku, selain terus beribadah, dan mendo’akanmu. Agar mimpi itu benar-benar
terwujud. Dari semua pribadimu yang telah ataupun belum kusebut aku menyampaikan
dalam sebuah do’a setiap saat. Untuk
seseorang yang aku harapkan menjadi
pendampingku nanti. Semoga Allah, memberikan pendampingku orang yang membuatku
hidup dan mati karena Allah, yang membawaku ke Syurga, agar aku bisa bertemu
kamu, Ibu.
Takengon,
8 Juni 2014

