Copyright © Perjalanan Cinta Kita
Design by Dzignine
Minggu, 08 Juni 2014

Jika Rindu



Jika Rindu

Jika rinduku pada hawa, kuingin rindu itu hanya pada ibuku
Jika rinduku pada hawa, kuingin rindu itu hanya pada kakakku
Jika rinduku pada hawa, kuingin rindu itu hanya pada adikku
Jika rinduku pada hawa, kuingin rindu itu hanya pada keponaanku

Saat ini, jika bukan pada mereka, sesungguhnya rindu itu adalah salah. Aamiin



Menyusun kenangan adalah salah satu pengobat rindu, walau pada kenyataannya rindu itu akan semakin pelik. Aku merindumu ibu, saat ini sangat besar. Sangat besar. Aku selalu bertanya, “Kak Ana ro baa waktu ketek e mak ?”. Ibu menjawab dia cengeng, suka menangis. Jadi saat kakakku mendiamkan Raifa yang sedang menangis. Aku jadi rindu kamu. Kalau Ipat mak ?. Aku tidak sempat menanyakan itu pada ibu. 
You always call me “anak bujang umak”. Sekarang anak bujang umak sedang mencari pendamping hidup mak. Aku tidak ingin muluk-muluk, cukup seperti ibu. Walau kenyataannya sulit mendapatkan yang seperti ibu. Mungkin itu menjadi hal yang sangat muluk.
Bukan perkara parasnya, lebih ada sifat pekanya. Untuk yang lain mungkin nomor sekian. Aku ingin menumbuh kembangkan cucu-cucumu dengan impian, seperti ibu. Yang selalu mendorong kak Ana untuk jadi dokter. Seperti ibu yang memompa semangat belajarku. Seperti ibu yang selalu terlihat senyum, walau pekerjaan rumah sangat berat. Seperti ibu yang rela bangun subuh untuk membungkus nasi jualan, menjualkannya bersama jualan ikan ayah. Karena untuk  tambahan uang sekolah, dan kebutuhan sehari-hari. Seperti ibu yang rela berpanas-panasan menemani ayah ke kebun pala.
Seperti ibu yang menjemur pala di pagi hari, dan membangkitnya di sore hari. Seperti ibu yang selalu menyiapkan sarapan dan susu sebelum anak-anakmu pergi sekolah, seperti ibu yang selalu mengingatkanku shalat di manapun aku berada. Seperti ibu yang suka menjahit, terlebih saat kamu hanya tersenyum menjahit celana sekolah SMAku yang robek. Seperti ibu yang rela berjalan kaki ke sekolahku untuk mengambil raporku waktu sekolah dasar. Seperti ibu yang mengomeli aku saat aku minta izin padamu untuk memelihara anjing di rumah. Padahal aku baru minta izin :) . Dan diganti dengan memelihara kucing.
Seperti ibu yang selalu membelikan es cendol kalau pulang belanja dari pekan. Seperti ibu yang selalu memasukkan susu untuk sarapan yang lupa kuminum saat buru-buru ke sekolah ke dalam kulkas. Karena sepulang sekolah aku akan mencarinya. Seperti ibu yang menahan emosi ayah pada abangku. Seperti ibu yang mau menemani anaknya mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolah. Karena ayah yang kasar mengajarkan anak-anaknya. 
 Seperti ibu yang selalu tidak memasukkan toge ke dalam sayuran, tidak memasakan udang, kepiting pada masakan sehari-hari, karena ayah tidak boleh memakannya. Seperti ibu yang tau semua posisi barang-barang yang hilang. Seperti ibu yang selalu membuat anak-anaknya menahan puasa, mencoba menghibur, hingga waktu berbuka tiba.
Seperti ibu yang selalu bersemangat saat membungkus lauk pauk untuk dikirim pada anak-anaknya yang berkuliah di luar kota. Seperti ibu yang tidak mengharapkan balas budi. Karena sungguh aku tidak bisa membalasnya.
 Seperti ibu yang mau mengangkat air dari sumur tetangga yang airnya lebih jernih dan memasak nya di tungku api karena keuangan keluarga sangat susah.
 Seperti ibu yang tidak ingin menyusahkan orang lain. Ibu ingin pulang dari rumah kak Ana di Meulaboh, karena ibu tidak ingin merepotkannya, aku tau itu. Seperti ibu hanya diam saat kami anak-anakmu seolah-olah lebih pintar darimu. Ibu tidak marah, ibu tau saat itu kami sedang tumbuh dewasa.
Seperti ibu yang selalu merawat penampilan, meski satu harian kerja keras merawat kami. Mencoba menutup putihnya rambutmu. Dengan minyak rambut orang-aring.
Seperti ibu yang selalu berkata padaku “kabilo pulang?”, saat berkomunikasi dengan anak-anakmu yang sedang berkuliah. Padahal ibu tahu bahwa semester masih sangat lama. Seperti ibu yang selalu membukakan pintu belakang saat aku pulang main hujan-hujanan, karena kalau ayah tau mungkin ayah akan marah.
Seperti ibu yang membuka pintu kamar mandi belakang yang aku dikurung ayah di dalamnya karena tidak mau ke sekolah. Seperti ibu yang menghiburku yang tertabrak sepeda motor saat 17 agustus, aku terpaksa di rawat di rumah dan sangat sedih karena tidak jadi ikut parade pakaian adat. Dan sampai sekarang aku belum pernah mengikuti kegiatan itu lagi.
Seperti ibu yang membangunkan aku yang tertidur sampai pagi karena nonton bola di malam hari , dan telat untuk ke sekolah. Seperti ibu yang meminta maaf pada guruku saat aku dilaporkan berkelahi dengan temanku. Seperti ibu yang selalu bangga saat orang-orang megatakan hanya aku dari anak ibu yang berbadan gemuk. Padahal ayah dan ibunya kurus.  Dengan bangga ibumenjawab, “dia suka sekali sayur santan masakannku”. And its totally right. I love that’s food.
Seperti ibu yang bisa mengajarkan membaca Qur’an. Seperti ibu yang membantuku menghafal beberapa ayat pendek untuk bacaan shalat.  Pengetahuan agama juga penting.
Seperti ibu yang mendampingi ayah sampai akhir hidupmu. Seperti ibu yang mengatakan kamu tidak apa-apa, padahal mulut ibu saja sudah sulit untuk ibu gerakkan.
Seperti ibu yang tetap bertahan, saat ada saudara yang menumpang tidak disukai oleh keluargamu yang lain. Seperti ibu yang sabar.
Seperti ibu yang selalu memanggil anak-anaknya dengan pangilan kecilnya, walaupun kami sudah beranjak besar. Ipat, opi, ana, icha.
Seperti ibu yang membiarkanku tidak ke sekolah saat rumah kebanjiran. Aku sangat senang saat itu. Bermain-main air di rumah, mengganggu ayah dan ibu yang mencoba mengeluarkan air dari rumah. Dan tentu saja ayah akan marah karena tidak sekolah.
Seperti ibu yang tidak pernah bosan, selama lebih dari tiga puluh tahun membesarkan anak-anaknya, seperti ibu yang tidak pernah jenuh. Seperti ibu yang pintar merawat diri, agar tetap tampil anggun. 
Seperti ibu yang aku pun sampai keletihan menulisnya. Seperti ibu yang mampu membuat anak-anakmu menangis saat kehilangannmu, seperti ibu yang menumbuhkan kasih sayang di antara kami, seperti ibu yang menjaga dan mendo’akan kami hingga kami bisa seperti ini. Aku inginnya seperti ibu.
Sebentar lagi puasa ke dua tanpa ibu di sini. Dan itu sangat berbeda, aku melaluinya di tahun pertama. Dan aku inginnya seperti ibu, seperti ibu yang menyiapkan buka puasa lengkap dengan minuman dinginnya. Minumanku yang sengaja dipisah, karena aku biasanya tanpa cincau ataupun mentimun kapur di sirupku.
Seperti ibu yang perhatian pada saudaranya, menyuruh kami anak-anaknya mengantar kue ke rumah mak wo. Seperti ibu yang mampu membuat hubungan bertetangga sangat harmonis. Seperti ibu yang sangat perhatian. Seperti ibu yang selalu membersihkan rumah sebelum esoknya hari raya. Seperti ibu yang mengganti gorden rumah dengan yang baru. Seperti ibu yang yang selalu menunggu ayah sepulang dari shalat ied dengan senyum ceria. Seperti ibu yang berdampingan bersama kami, keliling rumah tetangga untuk silahturahmi, seperti ibu yang memasak daging dengan sangat lembut. Seperti ibu yang mahir membuat tape, seperti ibu yang mahir memasak ketupat. Seperti ibu yang selalu kucium tangannya di hari raya itu. Seperti ibu.
Aku sungguh saat merindukanmmu saat ini. Semoga kita bisa bertemu kembali di surganya Allah, dan tidak ada cara yang lain bagiku, selain terus beribadah, dan mendo’akanmu. Agar mimpi itu benar-benar terwujud. Dari semua pribadimu yang telah ataupun belum kusebut aku menyampaikan dalam sebuah do’a setiap saat.  Untuk seseorang  yang aku harapkan menjadi pendampingku nanti. Semoga Allah, memberikan pendampingku orang yang membuatku hidup dan mati karena Allah, yang membawaku ke Syurga, agar aku bisa bertemu kamu, Ibu.

Takengon, 8 Juni 2014

Blog Archive