Copyright © Perjalanan Cinta Kita
Design by Dzignine
Sabtu, 30 Maret 2013

Aku Benci Mesin Ini

Tapaktuan, 16 Maret 2013  

       Tit tit tit...dari lorong rumah sakit terdengar suara mesin ini. Pukul 22.30 WIB, aku baru sampai dari Takengon, dan langsung turun ke rumah sakit. Kemarin ibu masuk rumah sakit, beliau sudah dua hari tidak makan, tidak mau makan, begitu penuturan abangku. Sebelum dibawa untuk dirawat di rumah sakit beliau mengalami muntah-muntah. Tekanan darahnya naik, memang beliau memiliki sejarah tekanan darah yang tinggi, tapi tidak setinggi itu.

       Sepanjang jalan dari Takengon rasa was-wasku tidak bisa hilang. Degupan jantungku berdetak  semakin kencang. Di dalam L-300 saat perjalanan Takengon-Tapaktuan, ada sesuatu yang membuat bulu-bulu di tubuhku merinding. Hujan panas. Dulu waktu aku masih kecil, mungkin masih sekolah dasar tingkat satu atau dua, saat hujan turun di siang hari," Jangan main-main hujan lagi nak, ini hujan panas, hujan orang meninggal,". Ingatan itu yang berkelebat memenuhi fikiran dan perasaanku. Saat ini, hujan turun dibarengi dengan matahari yang masih bersinar, sebab tidak ada awan hitam yang menutupinya. Handpondku berbunyi, ayah menelepon. Dengan sangat ketakutan aku langsung bertanya, "Kenapa yah, bagaimana ibu ?". Dengan tenang beliau menjawab," baik-baik saja, kami sekarang sedang berkumpul ramai-ramai di rumah sakit, kami semua menunggu kamu, cepat sampai ya, hati-hati di jalan.".Setelah percakapan itupun, rasa khawatirpun tidak hilang, bahkan secuilpun.

     Sebelum berangkat kusempatkan melakukan shalat dhuha, dalam sujudku aku berdo'a "Ya Allah, jaga ibuku, beri dia kekuatan, izinkan aku mencium keningnya, izinkan aku mengucapkan aku sayang ibu, sayang sekali,".

     Tit tit tit...dari lorong rumah sakit terdengar suara mesin ini. Pukul 22.30 WIB, aku baru sampai dari Takengon, dan langsung turun ke rumah sakit. Dan di sinilah aku, di depan ibuku yang sedang terbaring lemah, dengan selang makanan dalam lobang hidungnya yang lansung terhubung ke lambung, bernafas dengan menggunakan oksigen, tangan ditusuk jarum infus dan sebuah kabel yang tersambung dengan monitor pasien.

 

        Dengan alat ini aku bisa melihat detak jantung, pernafasan , tekanan darah ibuku. Dengan suara tit tit tit yang berbunyi stabil seperti irama. Tapi apa yang kutemukan dari mesin ini ?. Aku melihat kondisi ibuku yang sangat lemah, detak jantungnya lemah, pernafasannya juga lemah, terkadang beliau berhenti bernafas selama lima detik, dan kembali bernafas dengan saat sesak. Aku miris melihat keadaan ibuku seperti ini. Alhamdulillah, aku telah sampai, dan ibuku masih diberkahi kesehatan, walau saat ini sakit fikirku. Kucium keningya,  "Mak, Ipat alah sampai mak, Ipat sayang umak, sayang bana, sayang bana mak, capek cengak mak,". 

        Saat itu ayah sedang tidur di lantai, mungkin kelelahan karena seharian menjaga ibu. Ada bang Medi juga di rumah sakit itu. Malam ini aku tidak akan tidur, aku ingin menjaga, seperti dia menjagaku di waktu kecil, aku menyanginya lebih dari apapun. 

        Hampir setiap sepuluh menit mesin monitor pasien itu berbunyi, aku kaget dan ketakutan, kulafazkan kalimat syahadat di telinga ibu, Laillahhailallah Muhammadarassulullah". Dan segera kuberlari keruangan perawat meminta bantuan. Kondisi ibu kembali normal, dengan monitor mesin yang tidak lagi berbunyi deras, detak jantungnya berada dalam kisaran yang masih kurang stabil, helaan nafas yang berat, namun alat ini masih bisa membaca saat ibu menggunakan paru-parunya. Hasil lab mengatakan ibu mengalami infeksi pada paru-parunya. Riwayat sakit beliau terakhir yang aku tau, jantung ibu membesar, ukurannya tidak lagi dalam ukuran normal.

      Rasa takut, membuat mataku enggan terpejam, mataku lincah melihat alat monitor ibu, dan ibu yang sedang bernafas. Tidak akan kubiarkan ibu merasakan kesakitan sementara aku tidak ada di sampingnya. Sesekali kukatakan padanya," Mak, jangan takut ya mak, Ipad di samping mamak, kalau terasa sakit ucapkan laillahailallah muhammadarasulullah, jangan takut, jangan takut". 

    Hingga waktu shubuh datang, baru perasaanku agak sedikit lega. Karena sebenatar lagi Kak Ana pasti datang. Alat ini berhasil membuatku ketakutan, alat ini membuatku menyaksikan ibuku yang sedang berusaha bernafas, persis saat aku di dalam rahimnya dahulu. Aku benci alat ini, tapi aku sayang ibu, sangat sayang.


0 komentar:

Posting Komentar

Blog Archive