Layangan Itu Mimpiku
Aku masih diam di sini. Berdiri
terpaku di bibir pantai Kuala Seurulah. Seperti biasa, kubiarkan saja
riak-riak nakal si air asin menjilati kakiku, sembari melihat anak-anak lain
sebayaku bermain layang-layang di temani Ayahnya, tertawa bahagia. Biru, merah,
kuning. Kupu-kupu, ular, dan berbagai macam jenis layang-layang yang menari manis, ke kanan dan ke kiri, melintasi
langit yang perlahan bosan ingin menjemput rembulan. Mataku tak lepas pada
sebuah layangan kupu-kupu putih kecil yang terus saja membubung tinggi, tidak
menghiraukan senja yang akan tiba.
Termenung, fikiranku melayang jauh ke
dalam ruangan berdinding papan tua lusuh.
Masa-masa di mana aku kecil merangkai
mimpi, menghiasikan wajah luguku. Dulu sekali. Kala itu guruku pernah berpetuah,
“Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit, karena kau bukan apa-apa kalau kau
tidak jadi apa-apa.” Walau akhirnya kata-kata itu “dipatahkan” oleh Syaid,
teman kecilku. Katanya, “ Kalau aku kan Bu, pasti bisa mengantungkan
cita-citaku setinggi langit, Abi aku kan pilot Bu, katanya dia kerja di langit, tapi kasihan si Asri Bu,
ayahnya kan nelayan, tidak mungkin bisa mengantungkan cita-citanya
tinggi-tinggi Bu !” dengan polos dia menyampaikan pendapatnya kepada guruku
yang hanya terdiam mebisu menatapku. Kami masih sangat kecil. Tapi,
tautan-tautan kata itu tidak bisa memudar dangan mudah dalam ingatanku.
Di sinilah aku berdiri senja
itu, setelah mendengar kata-kata dari
teman kecilku. Aku bocah kecil yang
malang, yang sedang menunggu ayahnya pulang seharian mengarungi lautan sendirian. Tiupan
angin mengibas-ngibas rambutku. Layangan kupu-kupu putih masih berada di atas
langit yang mulai gelap. Tidak ada teman. Kutarik nafas sangat dalam, linangan
air mata tak terasa perlahan jatuh membasahi pipi. Dalam bathin kecilku,
ketorehkan sebuah pena keras-keras agar tidak bisa memudar di makan waktu,
walau hilang, rasa sakitnya akan selalu meraja. “ Kelak aku tidak mau jadi
nelayan seperti ayahku, aku mau jadi pilot.” Aku terus menangis. Huft, Dasar
anak-anak.
Langit sudah mulai gelap, dan aku
tetap tidak bisa menghentikan sedu-sedanku. Dari kejauhan terlihat sebuah
sampan perlahan mendekati bibir-bibir pantai. Ayahku. Aku kecil berlari
menghampirinya, air mata terus keluar. Kupeluk ayahku dengan sangat erat. Terus
saja aku menangis di dalam pangkuannya. Ayahku memelukku semakin erat. Dalam
helaan suaraku, kuceritakan tentang hari ini dan tentang pilot padanya. Kulihat
kedua bola mata ayah yang menatapku, ayahku seperti berkaca-kaca. Dengan senyum
beliau berkata “ Kalau ayah tidak bisa mewujudkan impianmu nak, jadikanlah
layangan itu jadi mimpimu. Dia akan terus terbang tinggi. Dibawa angin. Karena
dalam doa dan sujudku pasti akan selalu ada namamu..”. Derai air mata juga
keluar dari ayahku. Air matanya keluar
mengenai kepalaku. Aku berhasil membuat ayahku sedih kala itu. Dasar anak-anak.
Dan kamipun pulang ke rumah. Tiga
ekor ikan tongkol kecil, hasil pancingan ayah, akan menjadi santapan malam ini.
Kami tinggal ber-enam, ayah, ibu dan tiga saudaraku. Aku si bungsu. Walau dalam
beberapa bulan ke depan predikat itu akan menghilang. Akan ada si bungsu baru lahir
dari rahim ibuku. Tiap malam aku meminta ibu, kalau nanti adikku lahir
laki-laki saja. Agar ada teman aku bermain layang-layang. Dasar anak-anak.
Dari sinilah semua itu berasal.
Semakin
dewasa, sampai di mana aku harus duduk di bangku SMP. Padahal diakhir kelas
enam SD, aku fikir aku hanya sekolah sampai tingkat itu saja. Menyekolahkan
lima orang anaknya, tidak cukup dengan penghasilan tiga ekor tongkol perhari.
Tapi, untung saja karena berprestasi aku bisa melanjutkan sekolah di tingkat
SMP. Aku mendapat beasiswa dari Pemerintah. Kala itu namanya “Beasiswa untuk
anak-anak kurang mampu”. Jadi aku punya biaya untuk bisa naik satu jenjang yang
lebih tinggi. Dalam satu periode uang beasiswanya, cukup untuk biaya
pendaftaran, beli seragam sekolah, tas. Kalau buku-buku dan alat tulis. Aku
dapat dari kakakku. “Warisan” istilahnya.
Menurut khabarnya beasiswa itu akan diberi dalam enam peride selama satu
tahun. Alhamdulillah.
Terkadang
nasib tidak bisa diprediksi, waktu masuk
SMP. Aku menempati posisi dua dalam seleksi masuk untuk pembagian jenis kelas.
Berasal dari sekolah dasar yang tidak begitu ternama, aku bisa duduk dan
belajar bersama dengan teman-teman sebayaku yang kebanyakan datang dari sekolah
dasar unggulan di kotaku. Memanglah, nasib tidak bisa diprediksi.
Masa-masa
SMP, adalah masa yang sangat luar biasa. Aku ditemani dengan berbagai macam
karakter. Kami ada dari berbagai macam kondisi keluarga. Walau tidak suka
membanding-bandingkan diri dengan teman lain, tapi akulah yang paling tidak
berada. Jarang aku pulang ke rumah setelah proses belajar mengajar di sekolah
selesai. Terkadang, aku harus pulang sore sekali karena harus membantu teman
untuk belajar bersama mengerjakan tugas. Tapi hitung-hitung, Alhamdulillah, aku bisa menambah jatah
tongkol untuk Saudara-saudaraku. Karena Ibu temanku selalu mengajak untuk makan
siang dulu sebelum belajar.
Tahun
pertama aku berseragam putih biru mendekati akhirnya. Menempati rangking pertama di kelas cukup membuat
aku bangga. Tapi tidak kedua orang tuaku. Karena mereka tau semua akan sia-sia.
Masa pendapatan beasiswa akan berakhir, saat aku naik ke kelas dua. Pembicaraan
mengenai hal tersebut, teramat sering aku dengar di rumah.
Tapi lagi-lagi nasib tidak bisa
diprediksi. Guru bahasa Indonesiaku menyampaikan khabar akan diadakannya lomba
“mencipta dan deklamasi puisi”, perlombaan itu diadakan oleh Perpustakaan
Nasional, setiap peserta diseleksi dari tingkat kabupaten, provinsi baru ke
tingkat nasional. Aku dipercaya sekolahku untuk menjadi wakilnya.
Sebuah harapan sekolah yang
dibebankan di pundakku.
Waktu seminggu yang diberikan untuk
mencipta sebuah puisi, telah usai. Dan tiba waktu seleksi tingkat kabupaten.
Aku dan dengan puisiku “ cahaya bulan ”, tanpa kuduga-duga behasil memperoleh
juara tingkat kabupaten tersebut. Dalam benakku, mungkin ini sebagai kado
perpisahanku untuk sekolahku, kado yang menjadi kenang-kenangan dari anak
seorang nelayan yang hanya bisa sekolah setahun.
Karena berhasil lolos seleksi tingkat
kabupaten, aku diwajibkan untuk mengikuti lanjutan seleksi ke tingkat provinsi,
di Banda Aceh. Jalan tidak selamanya tanpa ada badai. Ternyata, untuk berangkat
dari kotaku ke Ibukota provinsi pemerintah daerah tidak bersedia memberikan
biaya. Mungkin fikiran bapak-bapak di sana sama denganku, kalau aku tidak bakalan
menang. Hasrat yang sangat besar untuk pergi, dan hanya keluarga tempatku
mengadu, dengan berat hati ayah rela berniat menjual sampannya, untuk membiayai
transportasiku menuju Banda Aceh. Katanya sebagai hadiah karena aku berhasil
mendapat rangking I. Sedih dan bahagia bercampur merobek rasa. Aku yang tiga
belas tahun telah lama menyusahkan beliau tidak sampai hati untuk menjadikan
kehendakku sebagai penghancur harapan saudara-saudaraku. Aku tidak tahan kalau
adikku hanya makan nasi putih, minyak, garam dan kerupuk, tidak ada tongkol.
Jadi aku memutuskan untuk mengubur semua impianku untuk ke Banda Aceh. Aku
sudah cukup bangga dengan diriku. Aku hanya tidak mau lebih. Karena lebihku,
kekurangan untuk adikku.
Saat semua harapan hampir sirna, akhirnya
perpustakaan daerah bersedia memberikan uang akomodasi bagiku. Ternyata mimpi
itu tidak jadi kukubur. Aku berangkat dengan harapan untuk menang. Dan
ternyata, sang Maha Raja Segala mengabulkan semuanya. Juara I tingkat provinsi
dan harapan I tingkat nasional.
Lagi-lagi nasib tidak bisa
diprediksi, karena mendapat juara di provinsi dan nasional. Aku diberi hadiah
uang tunai, jumlahnya cukup untuk menamatkan ku dari seragam putih biru. Aku
sudah terlanjur senang. Aku sudah terlanjur membuat ayah dan Ibuku bangga. Aku
sudah terlanjur sayang pada adikku, karena tidak tega saat makan tak ada tongkol sebagai lauknya.
Setelah tamat SMP, aku melanjutkan ke
SMA. Kakakku yang paling tua sudah bekerja sebagai pelayan di rumah makan. Dia
yang membiayaiku hingga tamat SMA. Nasib memang tidak bisa diprediksi.
Dan aku masih di sini. Berdiri
terpaku di tepi pantai kuala Seurulah.
Kubiarkan saja riak-riak nakal
si air asin menjilati kakiku, sembari melihat anak-anak lain sebayaku bermain
layang-layang di temani Ayahnya, tertawa bahagia. Kali ini aku tidak sedang
lagi menunggu ayahku pulang dari laut dan membawa tiga ekor tongkol untuk
santap malam. Karena dia sudah tiada. Dia mungkin bermain layang bersama
kakekku di surga, atau sedang mencari ikan untuk makan malam kami di sana.
Sekarang aku sudah dewasa, tiga bulan lagi aku wisuda, sarjana teknik
universitas ternama di Medan. Dalam termangu aku meneteskan air mata,
kuperhatikan sebuah layangan kupu-kupu putih melintasi mega. “Gantungkanlah
cita-citamu setinggi langit, karena kau bukan apa-apa kalau kau tidak jadi
apa-apa.” Dengan bangga ku ucapkan. Layangan itu mimpiku.
BIODATA
PENULIS
Fadhli,
Mahasiswa jurusan teknik sipil Politeknik Negeri Medan. Berasal dari kota
Tapaktuan, Aceh Selatan. Anak ke-empat dari lima orang bersaudara dari Syamsuir
Yusuf dan Yuslinar.A.k. Penggemar berat Chelsea FC. Berprinsip “ Setiap orang mempunyai potensi besar sekali. Sangatlah mungkin mengubah diri kita menjadi lebih baik, bahkan kitapun dapat mengubah dunia “.
Riwayat pendidikan TK DHARMAWANITA, SDN 7 TAPAKTUAN, SMPN 1 TAPAKTUAN,
SMAN 1 TAPAKTUAN.

