Copyright © Perjalanan Cinta Kita
Design by Dzignine
Rabu, 14 Mei 2014

Layangan Itu Mimpiku (ANDAI AKU SI MISKIN)



Layangan Itu Mimpiku

Aku masih diam di sini. Berdiri terpaku di bibir pantai Kuala Seurulah. Seperti biasa, kubiarkan   saja riak-riak nakal si air asin menjilati kakiku, sembari melihat anak-anak lain sebayaku bermain layang-layang di temani Ayahnya, tertawa bahagia. Biru, merah, kuning. Kupu-kupu, ular, dan berbagai macam jenis layang-layang yang  menari manis, ke kanan dan ke kiri, melintasi langit yang perlahan bosan ingin menjemput rembulan. Mataku tak lepas pada sebuah layangan kupu-kupu putih kecil yang terus saja membubung tinggi, tidak menghiraukan senja yang akan tiba.
Termenung, fikiranku melayang jauh ke dalam ruangan berdinding papan tua lusuh.
Masa-masa di mana aku kecil merangkai mimpi, menghiasikan wajah luguku. Dulu sekali. Kala itu guruku pernah berpetuah, “Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit, karena kau bukan apa-apa kalau kau tidak jadi apa-apa.” Walau akhirnya kata-kata itu “dipatahkan” oleh Syaid, teman kecilku. Katanya, “ Kalau aku kan Bu, pasti bisa mengantungkan cita-citaku setinggi langit, Abi aku kan pilot Bu, katanya dia  kerja di langit, tapi kasihan si Asri Bu, ayahnya kan nelayan, tidak mungkin bisa mengantungkan cita-citanya tinggi-tinggi Bu !” dengan polos dia menyampaikan pendapatnya kepada guruku yang hanya terdiam mebisu menatapku. Kami masih sangat kecil. Tapi, tautan-tautan kata itu tidak bisa memudar dangan mudah dalam ingatanku.
Di sinilah aku berdiri senja itu,  setelah mendengar kata-kata dari teman kecilku.  Aku bocah kecil yang malang, yang sedang menunggu ayahnya pulang  seharian mengarungi lautan sendirian. Tiupan angin mengibas-ngibas rambutku. Layangan kupu-kupu putih masih berada di atas langit yang mulai gelap. Tidak ada teman. Kutarik nafas sangat dalam, linangan air mata tak terasa perlahan jatuh membasahi pipi. Dalam bathin kecilku, ketorehkan sebuah pena keras-keras agar tidak bisa memudar di makan waktu, walau hilang, rasa sakitnya akan selalu meraja. “ Kelak aku tidak mau jadi nelayan seperti ayahku, aku mau jadi pilot.” Aku terus menangis. Huft, Dasar anak-anak.

Langit sudah mulai gelap, dan aku tetap tidak bisa menghentikan sedu-sedanku. Dari kejauhan terlihat sebuah sampan perlahan mendekati bibir-bibir pantai. Ayahku. Aku kecil berlari menghampirinya, air mata terus keluar. Kupeluk ayahku dengan sangat erat. Terus saja aku menangis di dalam pangkuannya. Ayahku memelukku semakin erat. Dalam helaan suaraku, kuceritakan tentang hari ini dan tentang pilot padanya. Kulihat kedua bola mata ayah yang menatapku, ayahku seperti berkaca-kaca. Dengan senyum beliau berkata “ Kalau ayah tidak bisa mewujudkan impianmu nak, jadikanlah layangan itu jadi mimpimu. Dia akan terus terbang tinggi. Dibawa angin. Karena dalam doa dan sujudku pasti akan selalu ada namamu..”. Derai air mata juga keluar dari  ayahku. Air matanya keluar mengenai kepalaku. Aku berhasil membuat ayahku sedih kala itu. Dasar anak-anak.
Dan kamipun pulang ke rumah. Tiga ekor ikan tongkol kecil, hasil pancingan ayah, akan menjadi santapan malam ini. Kami tinggal ber-enam, ayah, ibu dan tiga saudaraku. Aku si bungsu. Walau dalam beberapa bulan ke depan predikat itu akan menghilang. Akan ada si bungsu baru lahir dari rahim ibuku. Tiap malam aku meminta ibu, kalau nanti adikku lahir laki-laki saja. Agar ada teman aku bermain layang-layang. Dasar anak-anak.
Dari sinilah semua itu berasal.
            Semakin dewasa, sampai di mana aku harus duduk di bangku SMP. Padahal diakhir kelas enam SD, aku fikir aku hanya sekolah sampai tingkat itu saja. Menyekolahkan lima orang anaknya, tidak cukup dengan penghasilan tiga ekor tongkol perhari. Tapi, untung saja karena berprestasi aku bisa melanjutkan sekolah di tingkat SMP. Aku mendapat beasiswa dari Pemerintah. Kala itu namanya “Beasiswa untuk anak-anak kurang mampu”. Jadi aku punya biaya untuk bisa naik satu jenjang yang lebih tinggi. Dalam satu periode uang beasiswanya, cukup untuk biaya pendaftaran, beli seragam sekolah, tas. Kalau buku-buku dan alat tulis. Aku dapat dari kakakku. “Warisan” istilahnya.  Menurut khabarnya beasiswa itu akan diberi dalam enam peride selama satu tahun. Alhamdulillah.
            Terkadang nasib tidak bisa diprediksi, waktu  masuk SMP. Aku menempati posisi dua dalam seleksi masuk untuk pembagian jenis kelas. Berasal dari sekolah dasar yang tidak begitu ternama, aku bisa duduk dan belajar bersama dengan teman-teman sebayaku yang kebanyakan datang dari sekolah dasar unggulan di kotaku. Memanglah, nasib tidak bisa diprediksi.
            Masa-masa SMP, adalah masa yang sangat luar biasa. Aku ditemani dengan berbagai macam karakter. Kami ada dari berbagai macam kondisi keluarga. Walau tidak suka membanding-bandingkan diri dengan teman lain, tapi akulah yang paling tidak berada. Jarang aku pulang ke rumah setelah proses belajar mengajar di sekolah selesai. Terkadang, aku harus pulang sore sekali karena harus membantu teman untuk belajar bersama mengerjakan tugas. Tapi hitung-hitung, Alhamdulillah, aku bisa menambah jatah tongkol untuk Saudara-saudaraku. Karena Ibu temanku selalu mengajak untuk makan siang dulu sebelum belajar.
            Tahun pertama aku berseragam putih biru mendekati akhirnya. Menempati rangking pertama di kelas cukup membuat aku bangga. Tapi tidak kedua orang tuaku. Karena mereka tau semua akan sia-sia. Masa pendapatan beasiswa akan berakhir, saat aku naik ke kelas dua. Pembicaraan mengenai hal tersebut, teramat sering aku dengar di rumah.
Tapi lagi-lagi nasib tidak bisa diprediksi. Guru bahasa Indonesiaku menyampaikan khabar akan diadakannya lomba “mencipta dan deklamasi puisi”, perlombaan itu diadakan oleh Perpustakaan Nasional, setiap peserta diseleksi dari tingkat kabupaten, provinsi baru ke tingkat nasional. Aku dipercaya sekolahku untuk menjadi wakilnya.
Sebuah harapan sekolah yang dibebankan di pundakku.
Waktu seminggu yang diberikan untuk mencipta sebuah puisi, telah usai. Dan tiba waktu seleksi tingkat kabupaten. Aku dan dengan puisiku “ cahaya bulan ”, tanpa kuduga-duga behasil memperoleh juara tingkat kabupaten tersebut. Dalam benakku, mungkin ini sebagai kado perpisahanku untuk sekolahku, kado yang menjadi kenang-kenangan dari anak seorang nelayan yang hanya bisa sekolah setahun.
Karena berhasil lolos seleksi tingkat kabupaten, aku diwajibkan untuk mengikuti lanjutan seleksi ke tingkat provinsi, di Banda Aceh. Jalan tidak selamanya tanpa ada badai. Ternyata, untuk berangkat dari kotaku ke Ibukota provinsi pemerintah daerah tidak bersedia memberikan biaya. Mungkin fikiran bapak-bapak di sana sama denganku, kalau aku tidak bakalan menang. Hasrat yang sangat besar untuk pergi, dan hanya keluarga tempatku mengadu, dengan berat hati ayah rela berniat menjual sampannya, untuk membiayai transportasiku menuju Banda Aceh. Katanya sebagai hadiah karena aku berhasil mendapat rangking I. Sedih dan bahagia bercampur merobek rasa. Aku yang tiga belas tahun telah lama menyusahkan beliau tidak sampai hati untuk menjadikan kehendakku sebagai penghancur harapan saudara-saudaraku. Aku tidak tahan kalau adikku hanya makan nasi putih, minyak, garam dan kerupuk, tidak ada tongkol. Jadi aku memutuskan untuk mengubur semua impianku untuk ke Banda Aceh. Aku sudah cukup bangga dengan diriku. Aku hanya tidak mau lebih. Karena lebihku, kekurangan untuk adikku.
Saat semua harapan hampir sirna, akhirnya perpustakaan daerah bersedia memberikan uang akomodasi bagiku. Ternyata mimpi itu tidak jadi kukubur. Aku berangkat dengan harapan untuk menang. Dan ternyata, sang Maha Raja Segala mengabulkan semuanya. Juara I tingkat provinsi dan harapan I tingkat nasional.
Lagi-lagi nasib tidak bisa diprediksi, karena mendapat juara di provinsi dan nasional. Aku diberi hadiah uang tunai, jumlahnya cukup untuk  menamatkan ku dari seragam putih biru. Aku sudah terlanjur senang. Aku sudah terlanjur membuat ayah dan Ibuku bangga. Aku sudah terlanjur sayang pada adikku, karena tidak tega saat makan  tak ada tongkol sebagai lauknya.
Setelah tamat SMP, aku melanjutkan ke SMA. Kakakku yang paling tua sudah bekerja sebagai pelayan di rumah makan. Dia yang membiayaiku hingga tamat SMA. Nasib memang tidak bisa diprediksi.
Dan aku masih di sini. Berdiri terpaku di tepi pantai kuala Seurulah.  Kubiarkan   saja riak-riak nakal si air asin menjilati kakiku, sembari melihat anak-anak lain sebayaku bermain layang-layang di temani Ayahnya, tertawa bahagia. Kali ini aku tidak sedang lagi menunggu ayahku pulang dari laut dan membawa tiga ekor tongkol untuk santap malam. Karena dia sudah tiada. Dia mungkin bermain layang bersama kakekku di surga, atau sedang mencari ikan untuk makan malam kami di sana. Sekarang aku sudah dewasa, tiga bulan lagi aku wisuda, sarjana teknik universitas ternama di Medan. Dalam termangu aku meneteskan air mata, kuperhatikan sebuah layangan kupu-kupu putih melintasi mega. “Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit, karena kau bukan apa-apa kalau kau tidak jadi apa-apa.” Dengan bangga ku ucapkan. Layangan itu mimpiku.

           
BIODATA PENULIS
Fadhli, Mahasiswa jurusan teknik sipil Politeknik Negeri Medan. Berasal dari kota Tapaktuan, Aceh Selatan. Anak ke-empat dari lima orang bersaudara dari Syamsuir Yusuf dan Yuslinar.A.k. Penggemar berat Chelsea FC. Berprinsip “ Setiap orang mempunyai potensi besar sekali. Sangatlah mungkin mengubah diri kita menjadi lebih baik, bahkan kitapun dapat mengubah dunia “.  Riwayat pendidikan TK DHARMAWANITA, SDN 7 TAPAKTUAN, SMPN 1 TAPAKTUAN, SMAN 1 TAPAKTUAN.

0 komentar:

Posting Komentar

Blog Archive